Apakah kita harus prihatin? Bisa iya, bisa juga tidak. Di satu sisi TV seharusnya menjadi “agent of change”
dan secara moral ikut memiliki peran membentuk budaya masyakarat.
Bukankah apa yang terjadi di masyarakat seringkali terbentuk dari apa
yang ditonton di televisi? Akan tetapi di sisi lain kita semua harus
sadar bahwa kita semua menonton TV secara gratis, tidak membayar. Dengan
demikian, pengelola TV swasta harus memutar otak agar ada pemasukan,
yang tentu saja didapat dari pemasang iklan, yang biasanya memilih
program dengan rating yang tinggi. Jadi, kadang tampak masuk akal juga
kalau TV lebih mengejar konten dengan rating tinggi, agar penghasilan
lebih tinggi. Dengan begitu, yang penting penonton suka, rating tinggi,
acara jalan terus, iklan banyak. Demikian mekanisme sederhananya.
Mengapa ratingnya tinggi? Sebenarnya tidak sulit
dimengerti. Memang ada sekelompok “elit” atau orang-orang yang kritis
dan prihatin dengan maraknya acara yang demikian. Tapi apa daya,
sebagian besar orang suka dengan acara itu. Barangkali, hidup
sehari-hari masyarakat sudah lelah dengan berbagai persoalan, sehingga
saat menyalakan TV tidak lagi mau dijejali dengan acara yang menambah
beban pikiran. Masyarakat lebih butuh hiburan, yang ringan, mengundang
tawa dan bahkan larut dalam goyang Cesar ala YKS. Jadi, pilihan mudahnya
bagi para pengelola TV adalah mengikuti saja apa yang sedang trend
sampai masyarakat bosan (rating turun) lalu membuat trend baru agar
rating naik kembali. Seperti YKS yang tiba-tiba menggeser minat orang
pada Sinetron, suatu saat nanti YKS pun akan tergeser pula dengan
tayangan kreatif lainnya.
Lalu sebagai penonton yang bijak harus bagaimana?
Kalau anda suka nontonlah, kalau tidak, ganti saja masih banyak channel
lainnya. Kalau anak anda ikutan nonton, tinggal anda masih mau asyik
bergoyang, atau ganti dengan channel film kartun, atau matikan saja TV
anda dan ajaklah anak anda bermain. Bagi kita selalu ada pilihan, dan
setiap pilihan tentu demi kebaikan kita sendiri. Demikianlah singkat
cerita tentang TV dan YKS. Apa hubungannya dengan Partai?
Sebulan lagi Pileg dimulai, dan dilanjutkan dengan
Pilpres. Seperti biasa, PEMILU selalu dimulai dengan kampanye. Sedari
dulu, angan-angan banyak pengamat adalah membudayanya kampanye santun
yang sarat pendidikan politik serta bernas dengan pemaparan visi dan
misi partai oleh para caleg. Namun apa daya, pengerahan massa di jalanan
serta panggung hiburan tampaknya masih menjadi andalan kampanye,
sehingga barangkali artis-artis kita siap-siap kebanjiran order Parpol
untuk menghibur masyarakat sebelum mendengar pidato politik. Semoga ada
yang berubah di 2014 ini.
Barangkali fenomena semacam YKS masih dipercaya
ampuh untuk mengumpulkan massa, dan menarik minat masyarakat untuk
memeriahkan kampanye parpol. Masyarakat tidak didatangkan untuk dididik,
tapi diiming-imingi hiburan dan ujung-ujungnya di kasih pidato dan
diminta nyoblos pada hari pemilihan. Tapi, mana yang lebih nyantol,
goyang penyanyi atau pidato si caleg, tidak ada yang tahu.
Bisa anda bayangkan pengumpulan massa yang hanya
mendengar pidato politik saja saat ini? Tampaknya para caleg masih belum
PD kalau tidak didampingi penyanyi dangdut. Hehe, takut bubar sebelum
acara selesai. Situasi demikian seringkali membuat kita semua merasa
kampanye politik tak lebih sekedar panggung hiburan, bukan media
pendidikan politik yang mendorong kita semua semakin maju dalam
berdemokrasi dan berpolitik. Jangan-jangan ketakutan parpol adalah
kejadiannya akan sama juga dengan YKS: rating panggung kampanye politik
berbanding terbalik dengan kualitas kampanye itu sendiri. Semakin
berkualitas pendidikan politiknya, semakin sepi peminatnya.
Kalau situasinya ternyata nanti masih demikian, lha
pendidikan politik itu tugas siapa? Barangkali para elit pengamat,
kompasianer kolom politik, media dan mahasiswa sebagai pilar-pilar
demokrasi tidak jemu-jemu untuk melakukannya, walaupun mungkin jauh di
bawah sana suara anda terdengar sayup ditengah hingar bingar knalpot
motor dan soundsystem musik. Atau barangkali (semoga) para caleg pun
punya kesadaran bukan hanya soal terpilih atau tidak terpilih, namun mau
berbicara dari hati ke hati dengan rakyat, mengerti persoalan mereka
dan mencoba mengulurkan tangan dengan berkarya, bukan sekedar
janji-janji panggung yang segera terlupakan saat munculnya goyangan si
artis. Model kampanye Jokowi di pilkada Jakarta barangkali bisa
dijadikan trend baru, langsung blusukan mendatangi masyarakat dan
menggali persoalan mereka, bukannya mendatangkan masyarakat untuk
mendengar janji-janji baru. Sudah terlalu banyak janji terlontar, sudah
terlalu banyak janji terlupakan.
Lalu sebagai rakyat harus bagaimana? Kalau anda
kritis dan peduli, barangkali anda mau berpartisipasi melakukan sesuatu
sebagai upaya pendidikan politik bagi orang di dalam lingkaran pengaruh
anda, dengan demikian anda secara sukarela ikut menjadi “agent of change”
bagi pertumbuhan demokrasi di negeri ini. Kalaupun anda hanya suka
goyang, ya sudah nikmati saja. Masalah milih, itu masalah hati nurani di
bilik suara nanti. Barangkali anda termasuk orang yang sudah lelah
dengan janji-janji, jadi paling tidak bisa joged ketimbang tidak dapat
apa-apa.