Filsafat Iluminasi -Suhrawardi al-Maqtul



"Dilihat secara keseluruhan tujuan filsafat Iluminasi diarahkan pada sasaran yang bersifat teoretis di samping sisi praktis yang dapat dicapai, arah tersebut dimulai dengan penyucian diri dari segalala kotoran, baik secara ruhani ataupun jasmani. Langkah ini ditempuh sebagai tahapan awal penjalinan hubungan dengan Cahaya Murni-kesepuluh yang menjadi medium antara dunia materi dan imateri. Cahaya Murni-kesepuluh adalah emanasi dari “Wujud Cahaya Agung” yang nantinya akan menganugrahkan pengalaman visioner setelah subjek berhasil menapaki syarat dan ritual-ritual yang telah ditentukan sebelumnya. Merasuknya Cahaya-cahaya Murni ke dalam subjek mengantarkan pada pengetahuan yang tidak diperoleh melalui proses berfikir, kejadian ini berlangsung pada alam kusus yang disebut dengan mundus imaginalis (Al-A^lam Al-Mitsâli).
Adapun tahapan selanjutnya ditempuh dengan pendemostrasian dengan landasan logis, epistemologis dan metafisika Aristotelian Timur (Al-Mayaiun Al-Syarqiyun) sebgai cara intensif menjabarkan dari simbol-simbol bahasa yang dimengerti tetapi sulit diungkapkan."
(Suhrawardî; Grand Master Iluminasi)



“Ia (Suhrawardî) termulia [dikalangan Sufi] dengan cerminnya yang berbeda,

[karena] sinar sang Surya telah mewujud dalam [diri]nya,

[terkadang] sinar itu merah, kuning, atau biru.

Tapi semuanya tampak sempurna sebagaimana adanya”

[Al-Jami]

Syihâbu Al-Dîn Yahyâ ibn Habasy ibn Amîrak Abû Al-Futûh Suhrawardî adalah pribadi yang sangat dikenal dalam sejarah filsafat Islam, khusunya ketika ia berhasil mendirikan faham filsafat baru dengan epistemologi yang dikembangkan dari tradisi dan kepercayaan Persia kuno. Filsafat yang dikenal dengan nama Iluminasi (Isyrâq) secara metodologis dan epistemologis sangat berkebalikan dengan pendekatan kaum Peripatetik yang melulu mendahulukan rasio dan memarjinalkan intuisi dan imajinasi yang tersimpan dalam jiwa manusia.

Suhrawardî lahir di kota kecil Suhraward di Persia barat laut, tepatnya pada tahun 549 H/1154 M, saat umat Islam Timur mengalami puncak peperanganan dengan bangsa Mongol di kawasan Azerbaijan. Imbas keadaan itu terjadinya penjamuran gerakan spiritualis yang mencoba menenangkan kejiwaan warga, dan sekaligus menumbuhkan semangat nasionalisme melawan bangsa-bangsa Kolonial. Memang benar, tidak pernah ada peperangan yang memberikan kedamaian, dan penjajahan yang menyisakan ketenangan. Ambisi orang-orang bengis itu, hanya membuahkan derita dan air mata, bagi mereka yang kalah dan kaum kecil yang mengalaminya. Kejamnya bangsa Mongol saat menjajah Muslim Timur diilustrasikan Ibnu Khaldûn dalam Muqadimahnya, sebagai topan yang melanda Baghdad dan sekitarnya, yang menghancurkan sendi-sendi kejayaan Islam, menghitamkan sungai Tigris dan Hulagu dengan tinta dari buku-buku yang dijadikan jembatan. Begitupun komentar Al-Qurthuby saat menafsiri ayat-ayat sifat Ya’zuz-Ma’zuz, yang keduanya digambarkan sebagai bangsa Mongol dan Tartar yang melakukan penyiksaan pada umat Muslim di Timur.

Walaupun demikian adanya, informasi yang diberikan sejarah mengenai perjalanan filosof satu ini (Suhrawardî) relatif komplit dan luas. Meskipun situasi dan kondsisi di sekitar kematiannya tetap menjadi objek spekulasi bagi para sejarahwan yang mengkajinya. Filosof yang dikenal sebagai guru besar Iluminasi, menjalani kehidupannya yang sangat singkat, mungkin sekitar tiga puluh delapan tahun Qomariah, atau kurang lebih; tiga puluh enam tahun Syamsiah. Dan di akhir hayatnya ia menemui kematian yang tragis melalui eksekusi mati di Aleppo (Halab, Suriah) pada tahun 587 H/1191 M, dan karena itulah terkadang ia disebut sebagai Guru Besar yang terbunuh (Al-Syekh Al-Maqtûl).
      ***
untuk lengkapnya silahkan kamu download artikel nya melalui link dibawah ini :

                                                                  DOWNLOAD

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »